Rabu, 07 November 2007

Fwd: Zakat Sarana Distribusi Kesejahteraan

--- In ekonomi-islami@yahoogroups.com, "Merza Gamal" <merzagamal@...>
wrote:

MEMAHAMI ZAKAT SEBAGAI SARANA DISTRIBUSI KESEJAHTERAAN


Al Quran, sebagai pedoman hidup orang Islam, secara tegas telah
memerintahkan pelaksanaan zakat. Menurut catatan Teungku Muhammad
Hasbi Ash
Shiddieqy (1999), terdapat 30 kali penyebutan kata zakat secara
ma'rifah di
dalam Al Quran, bahkan kewajiban zakat seringkali beriringan dengan
perintah
sholat, seperti misalnya: "Dan dirikanlah sholat, tunaikanlah zakat
dan
rukuklah bersama orang-orang yang rukuk." (QS 2/ al-Baqarah: 43)

Penjelasan kewajiban zakat bergandengan dengan perintah sholat
terdapat pada
28 ayat Al Quran. Dengan demikian, menurut sebagian ulama besar, jika
sholat
adalah tiang agama, maka zakat adalah mercusuar agama atau dengan
kata lain
sholat merupakan ibadah jasmaniah yang paling mulia, sedangkan zakat
dipandang sebagai ibadah hubungan kemasyarakatan yang paling mulia.

Beberapa pandangan ulama besar, menyatakan, bergandengannya kewajiban
zakat
dan perintah sholat dalam Al Quran menyiratkan bahwa semestinya Allah
tidak
akan menerima salah satu, dari sholat atau zakat, tanpa kehadiran
yang lain.
Pada dasarnya, kepentingan ibadah sholat tidak dimaksudkan untuk
mengurangi
arti penting zakat, karena sholat merupakan wakil dari jalur hubungan
dengan
Allah, sedangkan zakat adalah wakil dari jalan hubungan dengan sesama
manusia.
Namun demikian, bukan berarti kewajiban zakat lepas dari dimensi
ke-Tuhan-an, karena sesuai dengan Surah Fushshilat ayat 6-7
dinyatakan bahwa
seorang mukmin yang tidak mngeluarkan zakat tidak ada bedanya dengan
orang
musyrik. Menurut, Yusuf Al-Qardhawi, zakat dapat berfungsi sebagai
pembeda
antara keislaman dan kekafiran, antara keimanan dan kemunafikan,
serta
antara ketaqwaan dan kedurhakaan.

Di dalam Al Quran, zakat mempunyai beberapa istilah, yakni zakat,
shadaqah,
haq, nafaqah, dan afuw. Namun yang berkembang pada masyarakat adalah
istilah
"zakat" digunakan untuk shadaqah wajib, sedangkan kata "sedekah"
digunakan
untuk shadaqah sunah.
Harta yang dikeluarkan untuk zakat dimaksudkan untuk mensucikan diri
dari
kotoran kikir dan dosa, serta untuk menyuburkan harta atau
memperbanyak
pahala bagi mereka yang mengeluarkannya, karena zakat itu menunjukkan
kebenaran iman. Harta yang dizakatkan akan dipelihara oleh Allah SWT,
dan
dapat diturunkan kepada anak cucu dengan memperoleh keberkahan dan
kesucian
serta perlindungan dari Allah yang Maha Kuasa. Sedangkan harta yang
tidak
dikeluarkan zakat, tidak akan mendapat perlindungan dari Allah, sebab
harta
itu akan lenyap dari kepemilikan melalui bencana yang beraneka ragam.
Harta
tidak akan terpakai untuk pekerjaan yang memberikan keuntungan bagi
pemiliknya di "akhirat" kelak.

Zakat merupakan manifestasi dari kegotongroyongan antara orang kaya
dengan
fakir miskin. Pemberdayaan zakat merupakan perlindungan bagi
masyarakat dari
bencana kemasyarakatan, yaitu kemiskinan, kelemahan baik fisik maupun
mental. Lembaga "zakat" merupakan sarana distribusi kekayaan di dalam
ajaran
Islam yang merupakan kewajiban kolektif perekonomian umat Islam.
Zakat
merupakan komitmen seorang Muslim dalam bidang sosial-ekonomi yang
tidak
terhindarkan untuk memenuhi kebutuhan pokok bagi semua orang, tanpa
harus
meletakkan beban pada kas negara semata, sebagaimana yang
dilaksanakan dalam
system sosialisme dan negara kesejahteraan modern.

Pembahasan Al Quran tentang zakat sebagai doktrin sosial-ekonomi
Islam
sering dikaitkan secara bersamaan dengan "riba", seperti dalam Surah
al-Baqarah ayat 275 yang menyatakan bahwa Allah menghalakan jual beli
dan
mengaharamkan riba, setelah pada ayat sebelumnya menyatakan keutamaan
membelanjakan harta di jalan yang benar. Kemudian pada ayat
berikutnya,
yakni Surah al-Baqarah ayat 276 dengan tegas Allah menyatakan
bahwa: "Allah
menghapuskan (berkah) riba dan menyuburkan (berkah) sedekah. Dan
Allah tidak
menyukai setiap orang yang tetap dalam kekafiran lagi berbuat dosa."

Dalam ayat tersebut Al Quran dengan jelas mempertentangkan riba dan
shadaqah, dan kemudian dalam ayat berikutnya secara lebih tegas
muncul
konsep zakat sebagai solusi alternatif, yakni: "Sesungguhnya orang-
orang
yang beriman dan beramal soleh, mendirikan sholat dan menunaikan
zakat,
mereka memperoleh pahala di sisi Tuhan mereka, dan tidak ada
ketakutan yang
akan menimpa mereka, dan mereka tidak akan berduka cita." QS. 2/
al-Baqarah: 277)

Faktor yang menghubungkan antara "zakat" dengan "riba" adalah
pengertian
kunci di sekitar berkah dalam konotasi kontradiktif. "Zakat" sangat
terkait
dengan system penyediaan dana dan system pemanfaatan dana dalam
rangka
melaksanakan kebijaksanaan pemerataan untuk mencapai keadilan social.
Sedangkan "riba" hanya dilandasi prinsip materialisme dan hedonisme
sehingga
menjadi salah satu faktor utama timbulnya konsentrasi kekayaan pada
satu
orang atau kelompok.

Sesuai dengan prinsip Syariah Islam yang tidak mempersulit (adam al-
haraj)
dan keadilan (al-`adalah) yang mencakup keadilan sosial, maka doktrin
zakat
harus dipahami sebagai satu kesatuan system yang tidak dapat
dipisahkan
dalam rangka tercapainya pemerataan keadilan (distribution of
justice)
seperti yang diungkapkan Al Quran, Surah Al Hasyr ayat 7, yakni agar
harta
tidak beredar di kalangan orang-orang kaya saja.

Menurut beberapa ulama dan ahli sejarah, zakat adalah suatu system
jaminan
sosial yang pertama kali ada di dunia, yang selalu berhadapan dengan
system
riba. Hal ini berlangsung secara efektif & efisien, karena zakat
langsung
dikelola oleh pemerintah yang alim dan adil. Namun, kemudian terjadi
pemisahan wilayah kekuasaan internal Islam antara penguasa dan ulama,
maka
lembaga "zakat" menjadi tidak seefektif sebelumnya.

Sebagai institusi keagamaan, lembaga "zakat" kemudian dipegang oleh
ulama
saja, sehingga fungsi sebagai jaminan sosial menjadi tidak kentara,
dan lama
kelamaan berubah menjadi semacam aktivitas bantuan sementara
(temporary
action) yang hanya dipungut dalam waktu bersamaan dengan pelaksanaan
zakat
fitrah. Akibatnya, pendayagunaan zakat hanya mengambil bentuk bantuan
konsumtif yang hanya bersifat peringanan beban sesaat (temporary
relief),
yakni diberikan kepada fakir-miskin, anak yatim-piatu, hadiah tahunan
untuk
guru agama atau da'i. Sehingga, saat ini, perlu rasanya mendiskusikan
kembali doktrin zakat sebagai sub-sistem Ekonomi Islam dalam rangka
mempertegas substansi zakat yang sangat terpaut dengan hajat hidup
dunia
akhirat.

Berdasarkan uraian di atas, bahwa kewajiban zakat di dalam Al Quran
seringkali dikaitkan dengan perintah sholat dan larangan riba, maka
dapat
kita simpulkan bahwa zakat dan sholat adalah dua ibadah utama yang
saling
berkaitan satu dengan lainnya. Sholat adalah ibadah utama hubungan
dengan
Allah, sedangkan zakat adalah ibadah utama dalam hubungan sesama
manusia
tanpa lepas dari dimensi ketuhanan. Dan kaitan kewajiban zakat dengan
larangan riba adalah zakat merupakan alat distribusi harta kekayaan
antara
si kaya dan si miskin, sedangkan riba adalah instrumen utama yang
melahirkan
konsentrasi kekayaan di sekelompok orang.

Dengan demikian apabila lembaga "zakat" dapat dijalankan sesuai
dengan yang
telah diatur dalam Al Quran yang bertujuan untuk terciptanya keadilan
sosial, maka dana zakat akan membantu kas negara untuk menciptakan
lingkungan ekonomi umat atau kerakyatan yang memungkinkan si miskin
berdikari dalam sebuah lingkungan sosio-ekonomi yang menggalakkan
industri
kecil dan mikro yang kemudian akan berdampak mengurangi pengangguran,
kemiskinan, dan kesenjangan sosial-ekonomi.

Dalam kenyataan yang terjadi, saat ini, di Indonesia, zakat yang
diterima
oleh Badan atau Lembaga Amil Zakat (BAZ/ LAZ) belum signifikan dengan
jumlah
penduduk muslim yang ada. Kecilnya penerimaan zakat oleh BAZ/ LAZ
bukan
hanya disebabkan oleh rendahnya pengetahuan agama masyarakat, tetapi
juga
disebabkan oleh rendahnya kepercayaan masyarakat untuk menyalurkan
zakat
melalui BAZ/ LAZ yang mengakibatkan masyarakat condong menyalurkan
zakat
secara langsung kepada orang, yang menurut mereka, berhak
menerimanya.
Sehingga tujuan dari zakat sebagai dana pengembangan ekonomi tidak
terwujud,
tetapi tidak lebih hanya sebagai dana sumbangan konsumtif yang
sifatnya
sangat temporer, sebagai contoh adalah pemberian zakat di bulan
Ramadhan
sebagai pemenuhan kebutuhan konsumsi si miskin di hari Raya, dan
setelah
hari Raya mereka kembali miskin.
Pembagian dana zakat, sebenarnya, harus memberikan keutamaan dengan
tujuan
yang memungkinkan si miskin dapat menjalankan usaha sehingga mampu
berdikari, sebab merupakan suatu kewajiban bagi setiap muslim untuk
dapat
menghidupi dirinya.

Ajaran Islam sangat melarang seseorang menjadi pengemis untuk
menghidupi
dirinya. Dengan demikian dana zakat, juga infaq & sadaqah, hanya
dapat
menjadi suplemen pendapatan permanen bagi orang-orang yang benar-
benar tidak
dapat menghidupi dirinya lewat usahanya sendiri karena ia seorang
yang
menderita cacat seumur hidup atau telah uzur. Sedangkan bagi yang
lain, dana
tersebut harus digunakan sebagai bantuan keringanan temporer
disamping
sumber-sumber daya esensial untuk memperoleh pelatihan, peralatan,
dan
materi sehingga memungkinkan mereka mendapatkan penghasilan yang
mencukupi.
Dengan demikian, penggunaan dana zakat secara profesional akan
memungkinkan
si miskin berdikari dalam sebuah lingkungan sosio-ekonomi yang
menggalakkan
industri kecil-mikro dan kemudian akan berdampak mengurangi
pengangguran,
kemiskinan, dan kesenjangan sosial-ekonomi.

Zakat, sebenarnya, bukan monopoli ajaran Islam karena instrumen
sejenis juga
ditemui dalam ajaran lain. Dalam ajaran Hindu disebut "datria
datrium",
ajaran Budha menyebut "sutta nipata", sedangkan ajaran Kristiani
mengenal
"tithe" yang didefinisikan sebagai bagian dari pendapatan seseorang
yang
ditentukan oleh hukum untuk dibayar kepada gereja bagi pemeliharaan
kelembagaan, dukungan untuk pendeta, promosi kegiatannya, dan
membantu orang
miskin. Dalam kenyataan di lapangan, "tithe" lebih berhasil
dibandingkan
"zakat", padahal kewajiban "tithe" adalah 10%, sedangkan "zakat"
hanya 2,5%.

Menurut ajaran Islam, pembayaran zakat bukan merupakan suatu bentuk
kepemihakan kepada si miskin. Karena, si kaya bukanlah pemilik riil
kekayaan
tersebut. Mereka hanya pembawa amanah sebagaimana yang dikemukakan
dalam
Surah al-Hadiid ayat 7. Si kaya harus membelanjakan hartanya menurut
persyaratan amanah dan yang paling penting salah satunya adalah
memenuhi
kebutuhan orang-orang miskin. Diharapkan setiap Muslim yang sadar
akan
kewajiban agamanya, selalu bersedia membayar zakat, jika ia bertindak
secara
rasional untuk menjamin kepentingan jangka pendek dan jangka
panjangnya,
mencari keridhoan Allah SWT dalam kekayaannya di dunia dan akhirat.
Rasulullah menegaskan bahwa pembayaran zakat tidak akan mengurangi
kekayaan
seseorang.

Menurut Chapra (1985), zakat mempunyai dampak positif dalam
meningkatkan
ketersediaan dana bagi investasi sebab pembayaran zakat pada kekayaan
dan
harta yang tersimpan akan mendorong para pembayar zakat untuk mencari
pendapatan dari kekayaan mereka, sehingga mampu membayar zakat tanpa
mengurangi kekayaannya. Dengan demikian, dalam sebuah masyarakat yang
nilai-nilai Islam-nya telah terinternalisasi, simpanan emas dan perak
serta
kekayaan yang tidak produktif cenderung akan berkurang, sehingga
meningkatkan investasi dan menimbulkan kemakmuran yang lebih besar.

Pendapat senada juga dikemukakan oleh Neal Robinson (2001), Guru
Besar pada
Universty of Leeds, yang mengatakan bahwa zakat mempunyai fungsi
sosial
ekonomi yang sangat tinggi, dan berhubungan dengan adanya larangan
riba,
zakat mengarahkan kita untuk tidak menumpuk harta namun malahan
merangsang
investasi untuk alat produksi atau perdagangan.
Dengan demikian, apabila dapat terbentuk sebuah lembaga yang solid
dan
dipercaya oleh umat yang mempunyai kesadaran dalam menunaikan
kewajiban
zakat, maka potensi zakat sebagai sarana pendistribusian
kesejahteraan akan
dapat diwujudkan dengan mempercayakan pengelolaannya kepada lembaga
publik
professional yang didirikan atas sinergi pemerintah bersama dengan,
swasta
dan kelompok-kelompok yang ada di masyarakat.

Keuntungan jika zakat dikelola oleh sebuah lembaga publik
professional
dengan memadukan unsur pemerintah, swasta, dan kelompok masyarakat
adalah:
1. Para pembayar zakat akan lebih disiplin dalam menunaikan
kewajibannya dan
fakir miskin lebih terjamin haknya;

2. Perasaan fakir miskin terjaga, tidak merasa seperti peminta-
minta;

3. Distribusi dana zakat akan menjadi lebih tertib, teratur, dan
berdaya
guna dalam mengembangkan potensi ekonomi kaum fakir miskin;

4. Peruntukan dana zakat bagi kepentingan umum dapat disalurkan
dengan baik,
karena pihak pemerintah lebih mengetahui sasaran pemanfaatannya;

5. Zakat dapat pula mengisi perbendaharaan negara (daerah).


Penuluis: MERZA GAMAL (Pengkaji Sosial Ekonomi Islami)