Ekonomi Dalam Sudut Pandang Islam
Sejak adanya kehidupan manusia di permukaan bumi, hajat untuk hidup
secara kooperatif di antara manusia telah dirasakan dan telah diakui
sebagai faktor esensial agar dapat survive dalam kehidupan. Seluruh
anggota manusia bergantung kepada yang lain untuk memenuhi
kebutuhannya. Ketergantungan mutualistik dalam kehidupan individu dan
sosial di antara manusia telah melahirkan sebuah proses evolusi
gradual dalam pembentukan sistem pertukaran barang dan pelayanan.
Dengan semakin berkembangnya peradaban manusia dari zaman ke zaman,
sistem pertukaran ini berevolusi dari aktivitas yang sederhana kepada
aktivitas ekonomi yang modern.
Bisnis atau berusaha sebagai bagian dari aktivitas ekonomi selalu
memegang peranan vital di dalam kehidupan manusia sepanjang masa,
sehingga kepentingan ekonomi akan mempengaruhi tingkah laku bagi
semua tingkat individu, sosial, regional, nasional, dan
internasional. Umat Islam telah lama terlibat dalam aktivitas
ekonomi, yakni sejak lima belas abad yang silam. Fenomena tersebut
bukanlah suatu hal yang aneh, karena Islam menganjurkan umatnya
untuk melakukan kegiatan bisnis (berusaha) guna memenuhi kebutuhan
sosial-ekonomi mereka. Rasulullah Shallullahu Alaihi wa Sallam
sendiri terlibat di dalam kegiatan bisnis selaku pedagang bersama
istrinya Khadijah.
Al Quran sebagai Kitab Suci Umat Islam bukan hanya mengatur masalah
ibadah yang bersifat ritual, tetapi juga memberikan petunjuk yang
sempurna (komprehensif) dan abadi (universal) bagi seluruh umat
manusia. Al Quran mengandung prinsip-prinsip dan petunjuk-petunjuk
yang fundamental untuk setiap permasalahan manusia, termasuk masalah-
masalah yang berhubungan dengan aktivitas ekonomi. Prinsip-prinsip
ekonomi yang ada dalam berbagai ayat di Al Qur'an dilengkapi dengan
sunah-sunah dari Rasulullah melalui berbagai bentuk Al Hadits dan
diterangkan lebih rinci oleh para fuqaha pada saat kejayaan Dinul
Islamiyah baik dalam bentuk Al Ijma maupun Al Qiyas.
Namun sejak abad ke 15 hingga pertengahan abad ke 20 Masehi,
kontribusi Islam dalam pemikiran ekonomi seakan hilang ditelan
peradaban dunia sehingga tidak ditemukan buku-buku sejarah pemikiran
Ekonomi Islam. Adalah sebuah ironi, bahwa Adam Smith, yang dikenal
sebagai "Bapak Ilmu Ekonomi", dalam bukunya The Wealth of Nations
(tahun 1766), menjelaskan bahwa perekonomian yang maju ketika itu
adalah perekonomian Arab yang dipimpin Muhammad dan Para Khalifa ur
Rasyidin (dalam buku tersebut disebut sebagai Mahomet and his
immediate successors). Lebih ironis lagi, jika kita simak, ternyata
judul buku Adam Smith tersebut merupakan saduran dari buku Imam Abu
Ubayd, yaitu "Al-Amwal" (865).
Ironi lainnya, adalah, ketika Samuelson dalam buku teks Economics
edisi 7, menyebutkan bahwa asal muasal Ilmu ekonomi adalah Bible
(Injil), tidak satupun ekonom (pakar ekonomi) yang bereaksi.
Sementara itu, ketika Ilmuwan Islam mengangkat kembali Ilmu Ekonomi
Islam dengan Al Qur'an dan Al Hadits sebagai sumber rujukan utama,
sebagian besar ekonom, termasuk ekonom muslim, spontan bereaksi
menentang keberadaan Ekonomi yang berdasarkan ajaran Syariah Islam
tersebut.
Sementara itu, seorang ilmuwan Barat, C.C. Torrey dalam disertasinya
yang berjudul "The Commercial Theological Terms in the Koran"
menyatakan bahwa Al Quran menggunakan terminology bisnis sedemikian
ekstensif. Ia menemukan 20 (dua puluh) macam terminology bisnis dalam
Al Quran serta diulang sebanyak 370 kali dalam berbagai ayat (Mustaq
Ahmad, 1995). Penggunaan terminology bisnis (ekonomi) yang sedemikian
banyak, menunjukkan sebuah manifestasi adanya spirit bersifat
komersial dalam Al Quran.
Jika kita simak dengan seksama, menurut Adiwarman Karim (2002), ilmu
ekonomi merupakan warisan peradaban manusia yang dapat diibaratkan
sebagai bangunan bertingkat, dimana setiap kaum telah memberikan
kontribusi pada zamannya masing-masing dalam mendirikan bangunan
tersebut. Oleh karena itu, dalam upaya mengembangkan pemikiran
Ekonomi Islam, para ulama yang merupakan guru kaum muslimin tidak
menolak pemikiran para filosof dan ilmuwan non Muslim asalkan tidak
bertentangan dengan ajaran Islam. Para ulama dan pakar ekonomi Islam,
saat ini, berusaha mengembangkan Ekonomi Islam sesuai dengan dalil
naqli dan dalil aqli, meskipun pengaruh pemikiran ekonom Barat masih
terasa.
Kegiatan sosial-ekonomi (muamalah) dalam Islam mempunyai cakupan luas
dan fleksibel, serta tidak membedakan antara Muslim dan Non Muslim.
Kenyataan ini tersirat dalam suatu ungkapan yang diriwayatkan oleh
Sayyidina Ali, yaitu "dalam bidang muamalah, kewajiban mereka adalah
kewajiban kita dan hak mereka adalah hak kita". Dalam segenap aspek
kehidupan bisnis dan transaksi, dunia Islam mempunyai sistem
perekonomian yang berbasiskan nilai-nilai dan prinsip-prinsip Syariah
yang bersumber dari Al Quran dan Hadits serta dilengkapi dengan Al
Ijma dan Al Qiyas. Sistem perekonomian Islam, saat ini lebih dikenal
dengan istilah Sistem Ekonomi Syariah. Sistem Ekonomi Syariah
mempunyai beberapa tujuan, yakni:
1. Kesejahteraan Ekonomi dalam kerangka norma moral Islam (dasar
pemikiran QS. Al-Baqarah ayat 2 & 168, Al-Maidah ayat 87-88, Al-
Jumu'ah ayat 10);
2. Membentuk masyarakat dengan tatanan sosial yang solid,
berdasarkan keadilan dan persaudaraan yang universal (Qs. Al-Hujuraat
ayat 13, Al-Maidah ayat 8, Asy-Syu'araa ayat 183)
3. Mencapai distribusi pendapatan dan kekayaan yang adil dan
merata (QS. Al-An'am ayat 165, An-Nahl ayat 71, Az-Zukhruf ayat 32);
4. Menciptakan kebebasan individu dalam konteks kesejahteraan
sosial (QS. Ar-Ra'du ayat 36, Luqman ayat 22).
Ekonomi Syariah yang merupakan bagian dari sistem perekonomian
Syariah, memiliki karakteristik dan nilai-nilai yang berkonsep
kepada "amar ma'ruf nahi mungkar" yang berarti mengerjakan yang benar
dan meninggalkan yang dilarang. Ekonomi Syariah dapat dilihat dari 4
(empat) sudut pandang, yaitu:
1. Ekonomi Illahiyah (Ke-Tuhan-an)
2. Ekonomi Akhlaq
3. Ekonomi Kemanusiaan
4. Ekonomi Keseimbangan
Ekonomi Ke-Tuhan-an mengandung arti bahwa manusia diciptakan oleh
Allah untuk memenuhi perintah-Nya, yakni beribadah, dan dalam mencari
kebutuhan hidupnya, manusia harus berdasarkan aturan-aturan (Syariah)
dengan tujuan utama untuk mendapatkan Ridho Allah. Ekonomi Akhlaq
mengandung arti bahwa kesatuan antara ekonomi dan akhlaq harus
berkaitan dengan sektor produksi, distribusi, dan konsumsi. Dengan
demikian seorang Muslim tidak bebas mengerjakan apa saja yang
diinginkan atau yang menguntungkan tanpa mempedulikan orang lain.
Ekonomi Kemanusiaan mengandung arti bahwa Allah memberikan
predikat "Khalifah" hanya kepada manusia, karena manusia diberi
kemampuan dan perasaan yang memungkinkan ia melaksanakan tugasnya.
Melalui perannya sebagai "Khalifah" manusia wajib beramal, bekerja
keras, berkreasi, dan berinovasi. Sedangkan yang dimaksud dengan
Ekonomi Keseimbangan adalah pandangan Islam terhadap hak individu dan
masyarakat diletakkan dalam neraca keseimbangan yang adil tentang
dunia dan akhirat, jiwa dan raga, akal dan hati, perumpamaan dan
kenyataan, iman dan kekuasaan. Ekonomi yang moderat tidak menzalimi
masyarakat, khususnya kaum lemah sebagaimana yang terjadi pada
masyarakat kapitalis. Di samping itu, Islam juga tidak menzalimi hak
individu sebagaimana yang dilakukan oleh kaum sosialis, tetapi Islam
mengakui hak individu dan masyarakat secara berimbang.
Dengan demikian, dapat dilihat bahwa Sistem Ekonomi Syariah mempunyai
konsep yang lengkap dan seimbang dalam segala hal kehidupan, namun
penganut ajaran Islam sendiri, seringkali tidak menyadari hal itu.
Hal itu terjadi karena masih berpikir dengan kerangka ekonomi
kapitalis, karena berabad-abad dijajah oleh bangsa Barat, dan juga
bahwa pandangan dari Barat selalu lebih hebat. Padahal tanpa disadari
ternyata di dunia Barat sendiri telah banyak negara mulai mendalami
system perekonomian yang berbasiskan Syariah.
Penulis: MERZA GAMAL (Pengkaji Sosial Ekonomi Islam)