Rabu, 07 November 2007

Fwd: Membangun Motivasi Islami (Bag.1)

--- In ekonomi-islami@yahoogroups.com, Merza Gamal

Kondisi nyata pendidikan dan perekonomian mayoritas umat Islam,
saat ini, berada pada tingkat yang sangat rendah. Menurut Azizy
(2004), beberapa faktor penyebab hal tersebut, terutama, adalah
kesalahan pemahaman dan penafsiran terhadap ajaran Islam. Ajaran
dalam praktek, yang biasanya diyakini oleh mayoritas umat Islam,
tidak menyentuh tuntutan kemajuan ekonomi di dunia, karena ajaran
yang mereka terima dari para mubaligh dan ustadz, kadang-kadang,
kontradiktif dengan ideal ajaran Islam. Hal ini juga disebabkan, oleh
adanya paradigma yang menyatakan bahwa Ilmu Agama terpisah dari Ilmu
Umum, sehingga pemahaman umat terhadap agama tidak menyentuh ke dalam
aktivitas kehidupan sehari-hari yang dirasakan semakin jauh dari
nilai-nilai keagamaan.
Semangat ideal ajaran Islam, pada hakekatnya mengajak untuk
kemajuan, prestasi, kompetisi sehat, dan kemampuan memberikan rahmat
untuk alam semesta (QS. Al-Anbiya'/ 21:107) serta melepaskan manusia
dari dunia yang gelap dan sesat menuju dunia terang (QS. Al-Ahzab/
33:43) dan pada intinya ajaran Islam merupakan petunjuk bagi manusia
(QS. Al-Baqarah/ 2:185) yang dapat diartikan bahwa ajaran Islam itu
berlaku secara komprehensif dan universal. Namun dalam realita,
ajaran Islam diterima dan diartikan sebagai ajaran-ajaran yang pada
intinya menjauhkan diri dari hiruk pikuk keduniaan dan memfokuskan
ibadah hanya semata-mata kepada akhirat, sehingga pemaknaan dan
pemahamannya menjadi penghambat kemajuan keduniaan, dan akhirnya
menyebabkan kontradiktif antara semangat ajaran motivasi Islam yang
menyuruh umatnya makmur di dunia dan jaya di akhirat dengan realita
umat yang terbelakang dalam berbagai aspek.
Beberapa praktek terhadap ajaran motivasi Islam yang dipahami
dengan keliru di tengah-tengah umat Islam, antara lain, seperti
istilah "sabar", "qana'ah" (sikap menerima), "tawakkal" (sikap
pasrah), "insya Allah" (jika Allah menghendaki), "zuhud" (anti
keduniaan), dan sejenisnya. Istilah-istilah ini dalam pemahaman
sehari-hari sering dijadikan landasan hidup, seolah memberikan
justifikasi kepada umat Islam terhadap apa yang dilakukan dengan
konotasi yang negatif, yakni lamban, terbelakang, kemalasan, dan
semacamnya. Padahal arti yang sebenarnya harus berkonotasi positif,
tidak menghambat kemajuan ekonomi dan perkembangnnya, sebagaimana
yang diuraikan berikut ini.
(a) Sabar mengandung arti proses menuju keberhasilan yang tidak
mengenal kegagalan, karena disertai sikap tangguh, pantang menyerah,
teliti, tabah, dan tidak mudah putus asa, namun pemahaman yang
terjadi pada umat adalah sabar dianggap sebagai sikap yang tidak
cepat-cepat dan perlahan, sehingga identik dengan lamban.
(b) Qana'ah mengandung arti sikap yang jujur untuk menerima hasil
sesuai dengan kerjanya, tidak serakah, tidak menuntut hasil yang
lebih dengan kualitas kerja yang rendah, tidak iri dan dengki, tidak
menghayal di luar kemampuannya, atau dengan kata lain qana'ah berarti
produktivitas yang dihasilkan sesuai dengan kemampuan dan tingkat
kerja yang dilakukan, tetapi dalam pemahaman umat, qana'ah dipahami
sebagai sikap menerima apa adanya dan berkonotasi mudah menyerah,
sehingga tuntutan untuk kemajuan dianggap sebagai hal yang tidak
perlu.
(c) Tawakkal mengandung arti sikap akhir setelah bekerja dan
berusaha keras secara maksimal dan dilakukan berulangkali dengan
menyerahkan segala sesuatunya kepada Allah, tetapi dalam pemahaman
yang terjadi adalah sikap yang menyerahkan diri dan cita-cita kepada
keadaan tanpa perlu adanya suatu usaha maksimal atau sikap fatalis.
(d) Insya Allah mengandung arti kesanggupan seseorang memenuhi
janji secara serius dan hanya alasan di luar kekuasaan dirinya yang
dapat membatalkan janji tersebut, tetapi dalam pemahaman dan
pengamalannya terdapat kekeliruan besar terhadap perkataan insya
Allah tersebut, yakni dijadikan alat untuk menghindari atau
mengelakkan janji di balik nama Allah.
(e) Zuhud, mengandung arti meninggalkan hal-hal yang menyebabkan
jauh dari Allah atau dipahami sebagai anti keserakahan, namun yang
terjadi dalam praktek dipahami sebagai anti keduniaan atau anti
harta. Menurut Qardhawi (1977) hadits-hadits yang memuji sikap zuhud
bukan berarti memuji kemiskinan, tetapi berarti memiliki sesuatu dan
menggunakannya secara sederhana. Orang zahid adalah mereka yang
memiliki dunia dengan meletakkannya di tangan bukan di dalam hati.
Menurut ajaran Islam, kekayaan adalah nikmat dan anugerah Allah SWT
yang harus disyukuri, dan kemiskinan adalah masalah bahkan musibah
yang harus dilenyapkan, serta tidak ada satu pun ayat Al Quran yang
memuji kemiskinan dan tidak ada sebaris hadits sahih yang memujanya.

Penulis: MERZA GAMAL (Pengkaji Sosial Ekonomi Islami)