Rabu, 07 November 2007

Fwd: Pokok Pikiran Ekonomi Islami

--- In ekonomi-islami@yahoogroups.com, "Merza Gamal" <merzagamal@...>
wrote:

Sejak adanya kehidupan manusia di permukaan bumi, hajat untuk hidup
secara
kooperatif di antara manusia telah dirasakan dan telah diakui sebagai
faktor
esensial agar dapat survive dalam kehidupan. Seluruh anggota manusia
bergantung kepada yang lain untuk memenuhi kebutuhannya.
Ketergantungan
mutualistik dalam kehidupan individu dan sosial di antara manusia
telah
melahirkan sebuah proses evolusi gradual dalam pembentukan sistem
pertukaran
barang dan pelayanan. Dengan semakin berkembangnya peradaban manusia
dari
zaman ke zaman, sistem pertukaran ini berevolusi dari aktivitas yang
sederhana kepada aktivitas ekonomi yang modern.

Bisnis atau berusaha sebagai bagian dari aktivitas ekonomi selalu
memegang
peranan vital di dalam kehidupan manusia sepanjang masa, sehingga
kepentingan ekonomi akan mempengaruhi tingkah laku bagi semua tingkat
individu, sosial, regional, nasional, dan internasional. Umat Islam
telah
lama terlibat dalam aktivitas ekonomi, yakni sejak lima belas abad
yang
silam. Fenomena tersebut bukanlah suatu hal yang aneh, karena Islam
menganjurkan umatnya untuk melakukan kegiatan bisnis (berusaha) guna
memenuhi kebutuhan sosial-ekonomi mereka. Rasulullah Shallullahu
Alaihi wa
Sallam sendiri terlibat di dalam kegiatan bisnis selaku pedagang
bersama
istrinya Khadijah.

Al Quran sebagai Kitab Suci Umat Islam bukan hanya mengatur masalah
ibadah
yang bersifat ritual, tetapi juga memberikan petunjuk yang sempurna
(komprehensif) dan abadi (universal) bagi seluruh umat manusia. Al
Quran
mengandung prinsip-prinsip dan petunjuk-petunjuk yang fundamental
untuk
setiap permasalahan manusia, termasuk masalah-masalah yang
berhubungan
dengan aktivitas ekonomi. Prinsip-prinsip ekonomi yang ada dalam
berbagai
ayat di Al Qur'an dilengkapi dengan sunah-sunah dari Rasulullah
melalui
berbagai bentuk Al Hadits dan diterangkan lebih rinci oleh para
fuqaha pada
saat kejayaan Dinul Islamiyah baik dalam bentuk Al Ijma maupun Al
Qiyas.

Namun sejak abad ke 15 hingga pertengahan abad ke 20 Masehi,
kontribusi
Islam dalam pemikiran ekonomi seakan hilang ditelan peradaban dunia
sehingga
tidak ditemukan buku-buku sejarah pemikiran Ekonomi Islam. Adalah
sebuah
ironi, bahwa Adam Smith, yang dikenal sebagai "Bapak Ilmu Ekonomi",
dalam
bukunya The Wealth of Nations (tahun 1766), menjelaskan bahwa
perekonomian
yang maju ketika itu adalah perekonomian Arab yang dipimpin Muhammad
dan
Para Khalifa ur Rasyidin (dalam buku tersebut disebut sebagai Mahomet
and
his immediate successors). Lebih ironis lagi, jika kita simak,
ternyata
judul buku Adam Smith tersebut merupakan saduran dari buku Imam Abu
Ubayd,
yaitu "Al-Amwal" (865).

Ironi lainnya, adalah, ketika Samuelson dalam buku teks Economics
edisi 7,
menyebutkan bahwa asal muasal Ilmu ekonomi adalah Bible (Injil),
tidak
satupun ekonom (pakar ekonomi) yang bereaksi. Sementara itu, ketika
Ilmuwan
Islam mengangkat kembali Ilmu Ekonomi Islam dengan Al Qur'an dan Al
Hadits
sebagai sumber rujukan utama, sebagian besar ekonom, termasuk ekonom
muslim,
spontan bereaksi menentang keberadaan Ekonomi yang berdasarkan ajaran
Syariah Islam tersebut.
Sementara itu, seorang ilmuwan Barat, C.C. Torrey dalam disertasinya
yang
berjudul "The Commercial Theological Terms in the Koran" menyatakan
bahwa Al
Quran menggunakan terminology bisnis sedemikian ekstensif. Ia
menemukan 20
(dua puluh) macam terminology bisnis dalam Al Quran serta diulang
sebanyak
370 kali dalam berbagai ayat (Mustaq Ahmad, 1995). Penggunaan
terminology
bisnis (ekonomi) yang sedemikian banyak, menunjukkan sebuah
manifestasi
adanya spirit bersifat komersial dalam Al Quran.

Jika kita simak dengan seksama, menurut Adiwarman Karim (2002), ilmu
ekonomi
merupakan warisan peradaban manusia yang dapat diibaratkan sebagai
bangunan
bertingkat, dimana setiap kaum telah memberikan kontribusi pada
zamannya
masing-masing dalam mendirikan bangunan tersebut. Oleh karena itu,
dalam
upaya mengembangkan pemikiran Ekonomi Islam, para ulama yang
merupakan guru
kaum muslimin tidak menolak pemikiran para filosof dan ilmuwan non
Muslim
asalkan tidak bertentangan dengan ajaran Islam. Para ulama dan pakar
ekonomi
Islam, saat ini, berusaha mengembangkan Ekonomi Islam sesuai dengan
dalil
naqli dan dalil aqli, meskipun pengaruh pemikiran ekonom Barat masih
terasa.

Kegiatan sosial-ekonomi (muamalah) dalam Islam mempunyai cakupan luas
dan
fleksibel, serta tidak membedakan antara Muslim dan Non Muslim.
Kenyataan
ini tersirat dalam suatu ungkapan yang diriwayatkan oleh Sayyidina
Ali,
yaitu "dalam bidang muamalah, kewajiban mereka adalah kewajiban kita
dan hak
mereka adalah hak kita". Dalam segenap aspek kehidupan bisnis dan
transaksi,
dunia Islam mempunyai sistem perekonomian yang berbasiskan nilai-
nilai dan
prinsip-prinsip Syariah yang bersumber dari Al Quran dan Hadits serta
dilengkapi dengan Al Ijma dan Al Qiyas. Sistem perekonomian Islam,
saat ini
lebih dikenal dengan istilah Sistem Ekonomi Syariah. Sistem Ekonomi
Syariah
mempunyai beberapa tujuan, yakni:
1. Kesejahteraan Ekonomi dalam kerangka norma moral Islam (dasar
pemikiran
QS. Al-Baqarah ayat 2 & 168, Al-Maidah ayat 87-88, Al-Jumu'ah ayat
10);

2. Membentuk masyarakat dengan tatanan sosial yang solid,
berdasarkan
keadilan dan persaudaraan yang universal (Qs. Al-Hujuraat ayat 13, Al-
Maidah
ayat 8, Asy-Syu'araa ayat 183)

3. Mencapai distribusi pendapatan dan kekayaan yang adil dan
merata (QS.
Al-An'am ayat 165, An-Nahl ayat 71, Az-Zukhruf ayat 32);

4. Menciptakan kebebasan individu dalam konteks kesejahteraan
sosial (QS.
Ar-Ra'du ayat 36, Luqman ayat 22).

Ekonomi Syariah yang merupakan bagian dari sistem perekonomian
Syariah,
memiliki karakteristik dan nilai-nilai yang berkonsep kepada "amar
ma'ruf
nahi mungkar" yang berarti mengerjakan yang benar dan meninggalkan
yang
dilarang. Ekonomi Syariah dapat dilihat dari 4 (empat) sudut pandang,
yaitu:
1. Ekonomi Illahiyah (Ke-Tuhan-an)
2. Ekonomi Akhlaq
3. Ekonomi Kemanusiaan
4. Ekonomi Keseimbangan

Ekonomi Ke-Tuhan-an mengandung arti bahwa manusia diciptakan oleh
Allah
untuk memenuhi perintah-Nya, yakni beribadah, dan dalam mencari
kebutuhan
hidupnya, manusia harus berdasarkan aturan-aturan (Syariah) dengan
tujuan
utama untuk mendapatkan Ridho Allah. Ekonomi Akhlaq mengandung arti
bahwa
kesatuan antara ekonomi dan akhlaq harus berkaitan dengan sektor
produksi,
distribusi, dan konsumsi. Dengan demikian seorang Muslim tidak bebas
mengerjakan apa saja yang diinginkan atau yang menguntungkan tanpa
mempedulikan orang lain. Ekonomi Kemanusiaan mengandung arti bahwa
Allah
memberikan predikat "Khalifah" hanya kepada manusia, karena manusia
diberi
kemampuan dan perasaan yang memungkinkan ia melaksanakan tugasnya.
Melalui
perannya sebagai "Khalifah" manusia wajib beramal, bekerja keras,
berkreasi,
dan berinovasi. Sedangkan yang dimaksud dengan Ekonomi Keseimbangan
adalah
pandangan Islam terhadap hak individu dan masyarakat diletakkan dalam
neraca
keseimbangan yang adil tentang dunia dan akhirat, jiwa dan raga, akal
dan
hati, perumpamaan dan kenyataan, iman dan kekuasaan. Ekonomi yang
moderat
tidak menzalimi masyarakat, khususnya kaum lemah sebagaimana yang
terjadi
pada masyarakat kapitalis. Di samping itu, Islam juga tidak menzalimi
hak
individu sebagaimana yang dilakukan oleh kaum sosialis, tetapi Islam
mengakui hak individu dan masyarakat secara berimbang.
Dengan demikian, dapat dilihat bahwa Sistem Ekonomi Syariah mempunyai
konsep
yang lengkap dan seimbang dalam segala hal kehidupan, namun penganut
ajaran
Islam sendiri, seringkali tidak menyadari hal itu. Hal itu terjadi
karena
masih berpikir dengan kerangka ekonomi kapitalis, karena berabad-abad
dijajah oleh bangsa Barat, dan juga bahwa pandangan dari Barat selalu
lebih
hebat. Padahal tanpa disadari ternyata di dunia Barat sendiri telah
banyak
negara mulai mendalami system perekonomian yang berbasiskan Syariah.


Penulis: MERZA GAMAL (Pengkaji Sosial Ekonomi Islami)