Rabu, 07 November 2007

Fwd: Riba & Pegawai Bank

--- In ekonomi-islami@yahoogroups.com, Merza Gamal

Seorang penulis dari Mesir, Wahid Abdussalam Bali, telah menyusun
sebuah dialog yang dituangkan dalam sebuah buku dan telah
diterjemahkan ke Bahasa Indonesia oleh H. Eka Putra Wirman dengan
judul "Muslim diantara Halal dan Haram, Simpan Pinjam dengan
Institusi Bank Konvensional dan Syariah" terbitan Penerbit Cendekia,
Jakarta sebagai jawaban atas keluarnya fatwa kontroversial
tentang "kehalalan bunga bank" oleh Imam Akbar Syekh al-Azhar,
Dr.Muhammad Sayyid Tanthawi, yang mengoncangkan dunia fatwa
internasional. Kesimpulan berharga yang dapat dipetik dari bukunya
adalah:
1. Riba adalah adanya penambahan pada modal awal yang
disyaratkan terlebih dahulu;
2. Pengembalian hutang atau pinjaman lebih dari nilai pinjaman
tanpa syarat terlebih dahulu dibolehkan agama;
3. Bank yang memberikan bunga dan hadiah-hadiah atau iming-
iming adalah Bank yang mempraktekkan system riba;
4. Diharamkan melakukan transaksi dengan Bank yang melakukan
praktek riba;
5. Tidak dibolehkan menyimpan uang di Bank yang mempraktekkan
riba, walau tidak mengambil bunganya;
6. Tidak dibolehkan bekerja di Bank Riba;
7. Tidak boleh melakukan transaksi dengan Bank Syariah (Islam)
yang pusat operasionalnya adalah Bank Riba;
8. Hanya boleh melakukan transaksi dengan Bank Syariah (Islam)
yang murni menjalankan Syariah Islam dari Kantor Pusat sampai Cabang;
9. Bank Riba adalah penyebab dari tingginya harga-harga
barang;
10. Memakan barang yang diharamkan akan menjadi bencana bagi
pelakunya di dunia dan akhirat.

Sebenarnya telah banyak kajian-kajian yang telah dilakukan dan
diterbitkan sehubungan dengan apakah bunga bank termasuk riba atau
bukan. Riba bukan hanya merupakan permasalahan masyarakat Islam,
tetapi berbagai kalangan di luar Islam juga memandang serius
permasalahan ini. Riba sudah dilarang sebelum Al Quran diturunkan,
dan larangan ini sudah dinyatakan dalam Taurat dan Injil.

Allah SWT telah dengan tegas melarang dan mengharamkan "riba"
sebagaimana yang disampaikan dalam Al Quran. Bagi seorang Muslim,
cukup dengan membaca ayat tentang "riba" di penghujung surah Al
Baqarah yang diturunkan pada saat-saat akhir periode turunnya Al
Quran, niscaya ia akan merasakan jantungnya bagaikan hendak lepas
ketika menyimak betapa kerasnya ancaman yang dijanjikan oleh Allah
SWT dalam ayat-ayat yang tergolong ayat "muhakkamat" jelas dan pasti
serta tidak menimbulkan aneka interpretasi yang berbunyi:
"Orang-orang yang memakan riba, tidak dapat berdiri melainkan
seperti berdirinya orang yang kemasukan syaitan lantaran penyakit
gila. Keadaan mereka yang demikian itu adalah disebabkan mereka
berkata bahwa sesungguhnya jual-beli itu sama dengan riba, padahal
Allah telah menghalalkan jual-beli dan mengharamkan riba. Orang-orang
yang telah sampai padanya larangan dari Rabb-nya, lalu segera
berhenti dari mengambil riba, maka baginya apa yang telah diambilnya
dahulu, dan urusannya terserah kepada Allah. Orang yang mengulangi
mengambil riba, maka orang itu adalah penghuni-penghuni neraka;
mereka kekal di dalammya. Allah memusnahkan riba dan menyuburkan
sedekah. Dan Allah tidak menyukai setiap orang yang tetap dalam
kekafiran dan selalu berbuat dosa." (QS. Al Baqarah;275-276)

Demikian pula, banyak sekali hadits yang menerangkan betapa
buruknya dampak yang ditimbulkan oleh riba, seperti dua hadits
Rasullullah SAW yang diriwayatkan oleh Abdullah bin Mas'ud yang
menyatakan bahwa:

"Riba itu memiliki tujuh puluh tiga bagian. Riba yang paling
ringan adalah seperti halnya seseorang yang meniduri ibu kandungnya.
Dan sejahat-jahat riba adalah laksana seseorang yang mengganggu
kehormatan seorang Muslim."
"Apabila telah muncul wabah zina dan riba di suatu negeri, maka
berarti mereka telah siap menanti kedatangan azab Allah SWT."

Menurut Imam Dr. Yusuf Al Qardhawi, seorang ulama besar dunia yang
banyak didengarkan fatwanya saat ini, menyatakan bahwa dosa "riba"
beberapa kali lipat dosa "zina" dapat dimaklumi karena zina biasanya
terjadi akibat gejolak syahwat yang mendadak atau naluri yang
spontan, yang terkadang tidak tertahankan oleh seseorang, sedangkan
riba adalah maksiat yang terjadi dengan tingkat perencanaan yang
matang, jelas dan terukur. Dosa "riba" tidak hanya berlaku bagi
pemakan riba saja, melainkan juga menjangkau para pembayar riba,
penulis kontrak riba, dan dua orang saksinya, sebagaimana hadist yang
diriwayatkan oleh H.R. Muslim.

Hadits-hadits sahih yang shar'ih itulah, menurut Qardhawi, yang
menyiksa hati orang-orang Islam yang bekerja di bank-bank atau
syirkah (persekutuan) yang aktivitasnya tidak lepas dari tulis-
menulis dan bunga riba. Namun perlu diperhatikan bahwa masalah riba
itu tidak hanya berkaitan dengan pegawai bank atau penulisnya pada
berbagai syirkah, tetapi hal ini sudah menyusup ke dalam sistem
ekonomi kita dan semua kegiatan yang berhubungan dengan keuangan,
sehingga merupakan bencana umum sebagaimana yang diperingatkan
Rasulullah SAW:
"Sesungguhnya akan datang manusia suatu masa yang pada waktu itu
tidak tersisa seorang pun melainkan akan makan riba; barangsiapa yang
tidak memakannya maka ia akan terkena debunya." (HR Abu Daud dan Ibnu
Majah)

Kondisi seperti ini tidak dapat diubah dan diperbaiki hanya dengan
melarang seseorang bekerja di Bank atau Perusahaan yang mempraktekkan
riba. Tetapi kerusakan sistem ekonomi yang disebabkan ulah golongan
kapitalis ini hanya dapat diubah oleh sikap seluruh bangsa dan
masyarakat Islam. Perubahan itu tentu saja harus diusahakan
secara "bertahap" dan "perlahan-lahan" sehingga tidak menimbulkan
guncangan perekonomian yang dapat menimbulkan bencana pada negara dan
bangsa. Islam sendiri tidak melarang umatnya untuk melakukan
perubahan secara "bertahap" dalam memecahkan setiap permasalahan
yang "pelik". Cara ini pernah ditempuh Islam ketika mulai
mengharamkan riba, khamar, dan lainnya. Dalam hal ini yang terpenting
adalah "tekad' dan `kemauan bersama", apabila tekad itu telah "bulat"
maka jalan pun akan terbuka lebar.

Menurut Qardhawi, setiap Muslim yang mempunyai "kepedulian" akan
hal ini hendaklah bekerja dengan "hati"nya, "lisan"nya, dan segenap
kemampuannya melalui berbagai "wasilah" (sarana) yang tepat untuk
mengembangkan sistem perekonomian kita sendiri, sehingga sesuai
dengan ajaran Islam. Di sisi lain, apabila kita "melarang" semua
Muslim bekerja di Bank, maka dunia Perbankan dan sejenisnya akan
dikuasai oleh orang-orang Non Muslim seperti Yahudi dan sebagainya.
Pada akhirnya negara-negara Islam akan semakin dikuasai oleh mereka.

Terlepas dari itu semua, perlu juga diingat bahwa tidak semua
pekerjaan yang berhubungan dengan dunia perbankan tergolong riba. Ada
di antaranya yang halal dan baik, seperti kegiatan perpialangan,
penitipan, dan sebagainya; bahkan sangat sedikit pekerjaan di sana
yang termasuk haram. Oleh karena itu tidaklah mengapa seorang Muslim
menerima pekerjaan tersebut – meskipun hatinya tidak rela – dengan
harapan tata perekonomian akan mengalami "perubahan" menuju kondisi
yang diridhoi agama dan hatinya. Hanya saja, dalam hal ini hendaklah
ia melaksanakan tugasnya dengan baik, hendaklah menunaikan kewajiban
terhadap dirinya dan Rabb-nya beserta umatnya sambil menanti pahala
atas kebaikan niatnya;
"Sesungguhnya setiap orang memperoleh apa yang ia niatkan." (HR
Bukhari)

Di samping itu perlu disadari oleh orang-orang yang sedang bekerja
di bank non syariah untuk tidak melupakan kebutuhan hidup yang oleh
para fuqaha diistilahkan telah mencapai tingkatan "darurat". Kondisi
inilah yang menyebabkan seseorang menerima pekerjaan tersebut sebagai
sarana mencari penghidupan dan rezeki, sebagaimana firman Allah SWT:
"….tetapi barang siapa dalam keadaan terpaksa (memakannya) sedang
ia tidak menginginkannya dan tidak (pula) melampaui batas, maka tidak
ada dosa baginya. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha
Penyayang." (Al Baqarah: 173)

Enam tahun terakhir telah banyak berdiri bank syariah di Indonesia.
Hal ini memberikan kesempatan kepada orang-orang yang memang
menyadari terhadap bahaya riba untuk hijrah ke bank syariah. Dari
orang-orang inilah diharapkan praktek riba semakin dapat dikurangi
dalam transaksi keuangan dalam kehidupan ekonomi masyarakat banyak.
Di pundak mereka terletak tanggungjawab yang merupakan amanah dari
umat untuk mengubah kondisi menuju perekonomian yang diridhoi oleh
Allah SWT. Dengan demikian, seseorang yang telah mempunyai kesempatan
hijrah ke bank syariah, tidak sepantasnya jika ia menyia-nyiakan
amanah yang telah disandangnya, apalagi jika alasan bekerjanya di
bank syariah semata-mata untuk mencari penghasilan, sebelum menemukan
tempat bekerja yang memberikan penghasilan yang lebih tinggi.
Ingatlah firman Allah SWT berikut dalam setiap langkah setelah
bekerja di bank syariah:
"Hai orang-orang yang beriman, bertaqwalah kepada Allah dan
tinggalkan sisa riba yang belum dipungut, jika kamu orang-orang yang
beriman." (Q.S 2/ Al Baqarah: 278)


Penulis: MERZA GAMAL (Pengkaji Sosial Ekonomi Islami)