Dalam masyarakat yang maju, dikenal alat pertukaran dan satuan
pengukur
nilai untuk melakukan sebuah transaksi. Islam telah mengenal alat
pertukaran
dan pengukur nilai tersebut, bahkan Al Quran secara eksplisit
menyatakan
alat pengukur nilai tersebut berupa emas dan perak dalam berbagai
ayat. Para
fuqaha menafsirkan emas dan perak tersebut sebagai dinar dan dirham.
Dalam sejarah perekonomian Islam, uang sebagai alat pertukaran dan
pengukur
nilai tersebut, telah dicetak sejak zaman Khalifah Umar dan Utsman,
bahkan
mata uang yang dicetak pada masa Khalifah Ali masih tersimpan dalam
sebuah
museum di Paris. Hal ini menunjukkan bahwa dunia Islam telah mengenal
mata
uang jauh sebelum Adam Smith menulis buku "The Wealth of Nations"
pada tahun
1766 di Eropa.
Abu Hamid al-Ghazali dalam kitabnya "Ihya Ulumuddin" yang ditulis
pada awal
abad ke-11 telah membahas fungsi uang dalam perekonomian. Beliau
menjelaskan, bahwa ada kalanya seseorang mempunyai sesuatu yang tidak
dibutuhkannya dan membutuhkan sesuatu yang tidak dimilikinya. Dalam
ekonomi
barter, transaksi hanya terjadi jika kedua pihak mempunyai dua
kebutuhan
sekaligus, yakni pihak pertama membutuhkan barang pihak kedua dan
sebaliknya
pihak kedua membutuhkan barang pihak pertama, misalnya seseorang
mempunyai
onta dan membutuhkan kain.
Menurut Al-Ghazali, walaupun dalam ekonomi barter dibutuhkan suatu
alat
pengukur nilai yang disebut sebagai "uang". Sebagaimana contoh di
atas,
misalnya nilai onta adalah 100 dinar dan kain senilai 1 dinar.
Dengan
adanya uang sebagai alat pengukur nilai, maka uang akan berfungsi
sebagai
media penukaran.
Namun demikian, uang tidak dibutuhkan untuk uang itu sendiri, artinya
uang
diciptakan untuk memperlancar pertukaran dan menetapkan nilai yang
wajar
dari pertukaran tersebut. Menurut al-Ghazali, uang diibaratkan cermin
yang
tidak mempunyai warna, tetapi dapat merefleksikan semua warna, yang
maksudnya adalah uang tidak mempunyai harga, tetapi merefleksikan
harga
semua barang, atau dalam istilah ekonomi klasik disebutkan bahwa uang
tidak
memberikan kegunaan langsung (direct utility function), yang artinya
adalah
jika uang digunakan untuk membeli barang, maka barang itu yang akan
memberikan kegunaan.
Pembahasan mengenai uang juga terdapat dalam kitab "Muqaddimah" yang
ditulis
oleh Ibnu Khaldun pada abad ke-14. Ibnu Khaldun menjelaskan bahwa
kekayaan
suatu negara tidak ditentukan oleh banyaknya uang di negara tersebut,
tetapi
ditentukan oleh tingkat produksi negara tersebut dan neraca
pembayaran yang
positif. Apabila suatu negara mencetak uang sebanyak-banyaknya,
tetapi bukan
merupakan refleksi pesatnya pertumbuhan sector produksi, maka uang
yang
melimpah tersebut tidak ada nilainya. Sektor produksi merupakan motor
penggerak pembangunan suatu negara karena akan menyerap tanaga kerja,
meningkatkan pendapatan pekerja, dan menimbulkan permintaan (pasar)
terhadap
produksi lainnya.
Menurut Ibnu Khaldun, jika nilai uang tidak diubah melalui
kebijaksanaan
pemerintah, maka kenaikan atau penurunan harga barang semata-mata
akan
ditentukan oleh kekuatan penawaran (supply) dan permintaan (demand),
sehingga setiap barang akan memiliki harga keseimbangan. Misalnya,
jika di
suatu kota makanan yang tersedia lebih banyak daripada kebutuhan,
maka harga
makanan akan murah, demikian pula sebaliknya. Inflasi (kenaikan)
harga semua
atau sebagian besar jenis barang tidak akan terjadi karena pasar akan
mencari harga keseimbangan setiap jenis barang, karena jika satu
barang
harganya naik, namun karena tidak terjangkau oleh daya beli, maka
harga akan
turun kembali.
Merujuk kepada Al-Quran, al-Ghazali berpendapat bahwa orang yang
menimbun
uang adalah seorang penjahat, karena menimbun uang berarti menarik
uang
secara sementara dari peredaran. Dalam teori moneter modern,
penimbunan uang
berarti memperlambat perputaran uang. Hal ini berarti memperkecil
terjadinya
transaksi, sehingga perekonomian menjadi lesu. Selain itu, al-Ghazali
juga
menyatakan bahwa mencetak atau mengedarkan uang palsu lebih berbahaya
daripada mencuri seribu dirham, karena mencuri adalah suatu perbuatan
dosa,
sedangkan mencetak dan mengedarkan uang palsu dosanya akan terus
berulang
setiap kali uang palsu itu dipergunakan dan akan merugikan siapapun
yang
menerimanya dalam jangka waktu yang lebih panjang.
Menurut konsep ekonomi Syariah, uang adalah uang, bukan capital,
sementara
dalam konsep ekonomi konvensional, konsep uang tidak begitu jelas,
misalnya
dalam buku "Money, Interest and Capital" karya Colin Rogers, uang
diartikan
sebagai uang dan capital secara bergantian, sedangkan dalam konsep
ekonomi
Syariah uang adalah sesuatu yang bersifat flow concept dan merupakan
public
goods, sedangkan capital bersifat stock concept dan merupakan private
goods.
Uang yang mengalir adalah public goods, sedangkan yang mengendap
merupakan
milik seseorang dan mnejadi milik pribadi (private good).
Islam, telah lebih dahulu mengenal konsep public goods, sedangkan
dalam
ekonomi konvensional konsep tersebut baru dikenal pada tahun 1980-an
seiring
dengan berkembangnya ilmu ekonomi lingkungan yang banyal membicarakan
masalah externalities, public goods dan sebagainya. Konsep publics
goods
tercermin dalam sabda Rasulullah SAW, yakni "Tidaklah kalian
berserikat
dalam tiga hal, kecuali air, api, dan rumput."
Persamaan fungsi uang dalam sistem ekonomi Syariah dan konvensional
adalah
uang sebagai alat pertukaran (medium of exchange) dan satuan nilai
(unit of
account), sedangkan perbedaannya ekonomi konvensional menambah satu
fungsi
lagi sebagai penyimpan nilai (store of value) yang kemudian
berkembang
menjadi motif money demand for speculation yang merubah fungsi uang
sebagi
salah satu komoditi perdagangan. Jauh sebelumnya, Imam al-Ghazali
telah
memperingatkan bahwa "Memperdagangkan uang ibarat memenjarakan fungsi
uang,
jika banyak uang yang diperdagangkan, niscaya tinggal sedikit uang
yang
dapat berfungsi sebagai uang."
Dengan demikian, dalam konsep Islam, uang tidak termasuk dalam fungsi
utilitas karena manfaat yang kita dapatkan bukan dari uang itu secara
langsung, melainkan dari fungsinya sebagai perantara untuk mengubah
suatu
barang menjadi barang yang lain. Dampak berubahnya fungsi uang dari
sebagai
alat tukar dan satuan nilai mejadi komoditi dapat kita rasakan
sekarang,
yang dikenal dengan teori "Bubble Gum Economic."
Namun sebenarnya, dampak tersebut sudah diingatkan oleh Ibnu Tamiyah
yang
lahir di zaman pemerintahan Bani Mamluk tahun 1263. Ibnu Tamiyah
dalam
kitabnya "Majmu' Fatwa Syaikhul Islam) menyampaikan lima butir
peringatan
penting mengenai uang sebagai komoditi, yakni :
1. Perdagangan uang akan memicu inflasi;
2. Hilangnya kepercayaan orang terhadap stabilitas nilai mata
uang akan
mengurungkan niat orang untuk melakukan kontrak jangka panjang, dan
menzalimi golongan masyarakat yang berpenghasilan tetap seperti
pegawai/
karyawan;
3. Perdagangan dalam negeri akan menurun karena kekhawatiran
stabilitas
nilai uang;
4. Perdagangan internasional akan menurun;
5. Logam berharga (emas & perak) yang sebelumnya menjadi nilai
intrinstik
mata uang akan mengalir keluar negeri.
Perdagangan uang adalah salah satu bentuk riba yang lebih banyak
mudaratnya
daripada manfaatnya. Untuk itu, marilah kita kembali kepada fungsi
uang yang
sebenarnya yang telah dijalankan dalam konsep Islam, yakni sebagai
alat
pertukaran dan satuan nilai, bukan sebagai salah satu komoditi, dan
menyadari bahwa sesungguhnya uang itu hanyalah sebagai perantara
untuk
menjadikan suatu barang kepada barang yang lain.
Dengan demikian, maka dalam praktek sebuah lembaga keuangan yang
benar,
bukan menjual-belikan uang tetapi adalah menjual-belikan barang dan
atau
berbagi hasil dalam sebuah kemitraan usaha guna menghindari perubahan
fungsi
uang dari alat pertukaran dan satuan nilai menjadi komoditi.
Penulis: MERZA GAMAL (Pengkaji Sosial Ekonomi Islami)