Subject: [ekonomi-syariah] Harta, Usaha dan Keuntungan (5)
oleh : Prof.Dr.Abdullah al-Mushlih & Prof.Dr.Shalah ash-Shawi
Tidak ada dalil dalam syariat sehubungan dengan jumlah tertentu dari
keuntungan sehingga bila melebihi jumlah tersebut dianggap haram,
sehingga
menjadi kaidah umum untuk seluruh jenis barang dagangan di setiap
zaman dan
tempat. Hal itu karena beberapa hikmah, di antaranya:
Perbedaan harga, terkadang cepat berputar dan terkadang lambat. Kalau
perputarannya cepat, maka keuntungannya lebih sedikit, menurut
kebiasaan.
Sementara bila perputarannya lambat, keuntungannya banyak.
Perbedaan penjualan kontan dengan penjualan dengan pem-bayaran
tertunda.
Pada asalnya, keuntungan pada penjualan kon-tan lebih sedikit daripada
penjualan bentuk kedua.
Perbedaan komoditi yang dijual, antara komoditi primer dan sekunder,
keuntungannya lebih sedikit, karena memperhatikan kaum papa dan orang-
orang
yang membutuhkan, dengan komo-diti luks, yang keuntungannya dilebihkan
menurut kebiasaan, karena kurang dibutuhkan (sehingga jarang laku).
Oleh sebab itu sebagaimana telah dijelaskan, tidak ada diriwayatkan
dalam
sunnah Nabi yang suci pembatasan keun-tungan sehingga tidak boleh
mengambil
keuntungan lebih dari itu. Bahkan sebaliknya diriwayatkan hadits yang
menetapkan bolehnya keuntungan dagang itu mencapai dua kali lipat pada
kondisi-kondisi tertentu, atau bahkan lebih dari itu.
Diriwayatkan oleh al-Bukhari dalam Shahihnya, dari Urwah diriwayatkan
bahwa
Nabi a pernah memberinya satu dinar untuk dibelikan seekor kambing
buat
beliau. Lalu Urwah meng-gunakan uang tersebut untuk membeli dua ekor
kambing. Salah satu kambing itu dijual dengan harga satu dinar, lalu
ia
datang menemui Nabi dengan membawa kambing tersebut dengan satu dinar
yang
masih utuh. Ia menceritakan apa yang dia kerjakan. Maka Nabi
mendoakan agar
jual belinya itu diberkati oleh Allah. Setelah itu, kalau saja ia mau
membeli tanah, ia bisa menjualnya dengan mendapatkan keuntungan!
Diriwayatkan oleh Ahmad dalam Musnadnya dari Urwah bahwa ia
menceritakan:
"Nabi pernah ditawarkan kambing dagangan. Lalu beliau mem-berikan
satu dinar
kepadaku. Beliau bersabda, 'Hai Urwa, datangi pedagang hewan itu,
belikan
untukku satu ekor kambing.' Aku mendatangi pedagang tersebut dan
menawar
kambingnya. Akhirnya aku berhasil membawa dua ekor kambing. Aku
kembali
dengan mem-bawa kedua ekor kambing tersebut -dalam riwayat lain 'meng-
giring
kedua kambing itu'- Di tengah jalan, aku bertemu seorang lelaki dan
menawar
kambingku. Kujual satu ekor kambing dengan harga satu dinar. Aku
kembali
kepada Nabi dengan membawa satu dinar berikut satu ekor kambing. Aku
berkata, 'Wahai Rasulullah! Ini kambing Anda dan ini satu dinar juga
milik
Anda!' Beliau bertanya, "Apa yang engkau lakukan?" Aku menceritakan
semuanya. Beliau bersabda, 'Ya Allah, berkatilah keuntungan
perniagaannya.'
Kualami sesudah itu bahwa aku pernah berdiri di Kinasah di kota
Kufah, aku
berhasil membawa keuntungan empat puluh ribu dinar sebelum aku sampai
ke
rumah menemui keluargaku." HR. Ahmad di dalam Musnadnya.
Diriwayatkan dengan shahih bahwa Zubair bin al-Awwam pernah membeli
sebuah
tanah hutan, yakni sebidang tanah luas di daerah tinggi di kota
Madinah
dengan harga seratus tujuh puluh ribu dinar. Namun kemudian ia
menjualnya
dengan harga satu juta dinar. Yakni menjualnya dengan harga berlipat-
lipat
kali lebih mahal.
Hal yang perlu dicermati di sini, bahwa semua kejadian itu tidak
mengandung
unsur penipuan, manipulasi, monopoli, me-manfaatkan keluguan pembeli,
ketidaktahuannya, kondisinya yang terpepet atau sedang membutuhkan,
lalu
harga ditinggikan.
Di sisi lain, semua kejadian ini tidaklah menggambarkan kai-dah umum
dalam
mengukur keuntungan. Justru sikap memberi kemudahan, sikap santun dan
puas
dengan keuntungan yang sedikit itu lebih sesuai dengan petunjuk para
ulama
salaf dan ruh kehidupan syariat.
Orang yang puas dengan keuntungan sedikit pasti usahanya akan penuh
dengan
berkah. Ali biasa keliling pasar Kufah dengan membawa tongkat sambil
berkata, "Hai para pedagang, ambillah hak kalian, kalian akan selamat.
Jangan kalian tolak keuntungan yang sedikit, karena kalian bisa
terhalangi
mendapatkan keun-tungan besar.."
Sebagaimana pendapat yang mengatakan bahwa para pe-dagang bebas
membatasi
keuntungan mereka dalam batas-batas yang sesuai dengan kaidah-kaidah
syariat
secara umum, tidaklah menghalangi pemerintah untuk melakukan
standarisasi
harga dan memaksa para pedagang untuk menjual barang dagangan mereka
dengan
harga tertentu, tidak boleh lebih dari itu, apabila kondisi mendesak
ke arah
itu dan terdapat situasi yang mengharuskan adanya standarisasi harga
tersebut.
Ketetapan Majelis Ulama Fiqih Mengenai Standarisasi Harga
Majelis ulama fiqih yang terikut dalam organisasi mukmatar Islam yang
diadakan dalam pertemuan ke lima di Kuwait pada tanggal 1-6 Jumadil
Ula 1409
H., bertepatan dengan 10-15 Desember 1988, telah melakukan diskusi
tentang
pembatasan keuntungan para pedagang. Mereka membuat ketetapan berikut:
Pertama: Hukum asal yang diakui oleh nash dan kaidah-kaidah syariat
adalah
membiarkan umat bebas dalam jual beli mereka, dalam mengoperasikan
harta
benda mereka dalam bingkai hukum syariat Islam yang penuh perhatian
dengan
segala kaidah di dalamnya. Hal itu sesuai dengan firman Allah:
"Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta
sesamamu
dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku
dengan
suka sama suka diantara kamu. Dan janganlah kamu membunuh dirimu;
sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang kepadamu." (An-Nisa: 29).
Kedua: Tidak ada standarisasi keuntungan tertentu yang mengikat para
pedagang dalam melakukan berbagai transaksi jual beli mereka. Hal itu
dibiarkan sesuai kondisi dunia usaha secara umum dan kondisi pedagang
dan
kondisi komoditi barang dagangan, namun dengan tetap memperhatikan
kode etik
yang disyariatkan dalam Islam: Sikap santun, puas, toleransi dan
simpel.
Ketiga: Berlimpah dalil-dalil dalam ajaran syariat yang mewajibkan
segala
bentuk aktivitas dibebaskan dari hal-hal yang diharamkan atau
bersentuhan
dengan hal-hal haram, seperti penipuan, kecurangan, manipulasi,
memanfaatkan
ketidaktahuan orang lain, memanipulasi keuntungan, memonopoli
penjualan,
yang kesemuanya berbahaya bagi masyarakat umum maupun kalangan khusus.
Keempat: Pemerintah tidak boleh ikut campur menentukan standarisasi
harga
kecuali kalau melihat adanya ketidakberesan di pasar dan
ketidakberesan
harga karena berbagai faktor yang dibuat-buat. Dalam kondisi demikian,
pemerintah boleh turut campur dengan berbagai sarana yang
memungkinkan untuk
mengatasi berbagai faktor dan sebab ketidakberesan, kenaikan harga dan
kamuflase berat tersebut.
Insya Allah bersambung…